Ketersediaan : Tersedia

ARUS BAWAH - REPUBLISH

    Deskripsi Singkat

    Kiai Semar menghilang. Gareng, si Filsuf Desa, gugup tak alang kepalang. Namun, Petruk malah senyum-senyum saja melihat kakaknya belingsatan. Apalagi Bagong yang kerjaannya hanya makan dan tertawa-tawa. Bahkan, Dusun Karang Kedempel yang semakin rusak dan sedang membutuhkan kehadiran Semar pun tak merasa perlu mencarinya. Di tengah dominasi pakem Mahabharata yang… Baca Selengkapnya...

    Rp 64.000 Rp 44.800
    -
    +

    Kiai Semar menghilang. Gareng, si Filsuf Desa, gugup tak alang kepalang. Namun, Petruk malah senyum-senyum saja melihat kakaknya belingsatan. Apalagi Bagong yang kerjaannya hanya makan dan tertawa-tawa. Bahkan, Dusun Karang Kedempel yang semakin rusak dan sedang membutuhkan kehadiran Semar pun tak merasa perlu mencarinya.

    Di tengah dominasi pakem Mahabharata yang mencengkeram kehidupan Karang Kedempel, tugas Punakawan-lah untuk merintis Gerakan Carangan. Menjadi alternatif. Mengusahakan perjuangan dari basis. Membuat warga Karang Kedempel mengerti bahwa rakyat adalah Dewa-Dewa Agung yang memegang kedaulatan tertinggi di Karang Kedempel. Menyadarkan mereka bahwa keadaan boleh membatu karang, tetapi air harus terus menetes dan kelak melubanginya.

    Petruk yang terlihat tenang sebenarnya juga geram. Dulu Semar-lah yang menyeret Gareng, Petruk, dan Bagong ke Karang Kedempel untuk menemani dan menggembalakan kaum penguasa menuju sesuatu yang benar. Tugas ke-Punakawan-an mereka masih jauh dari purna, tapi kenapa Semar malah lenyap tiada kabar?

    Tentang Emha Ainun Nadjib

    Emha Ainun Nadjib
    Sastrawan dan budayawan ini lahir Rabu Legi 27 Mei 1953 di Jombang. Selain menulis, ia sangat aktif mengisi pengajian, seminar, diskusi, atau workshop di bidang pengembangan sosial, keagamaan, kesenian, dan lainnya.
    Pernah belajar di Pondok Pesantren Gontor dan sekolah menengah di Yogyakarta. Lantas mencicipi Fakultas Ekonomi UGM, kemudian bergabung dengan PSK (Persatuan Studi Klub) di bawah asuhan penyair Umbu Landu Paranggi. Kelompok ini ikut mewarnai upaya pengembangan kreativitas para penulis di Yogyakarta pada zamannya. Ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980); International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS (1984); Festival Penyair Internasional di Rotterdam (1984); dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
    Karya puisi dan esai Emha cukup banyak dibukukan. Naskah lakon/dramanya banyak dipentaskan dan sempat fenomenal seperti Lautan Jilbab. Puisi Emha yang diterbitkan dalam bentuk buku: “M” Frustasi (1975), Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978), 99 untuk Tuhanku (1980), Suluk Pesisiran (1989), Lautan Jilbab (1989), Cahaya Maha Cahaya (1991), Sesobek Buku Harian Indonesia (1993), Syair-Syair Asmaul Husna (1994), dan Abacadabra Kita Ngumpet .... (1994). Sedangkan kumpulan kolom dan esainya, antara lain Indonesia Bagian dari Desa Saya (1980), Sastra yang Membebaskan (1984), Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan (1985), Slilit Sang Kiai (1991), Bola-Bola Kultural (1993), Secangkir Kopi Jon Pakir (1992), Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1994), Sedang Tuhan pun Cemburu (1994).
     
    “Tanpa bantuan sastra, langkah komunikasi saya akan sangat terbatas. Dengan sastra, di samping saya dapat menemukan berbagai format komunikasi, saya juga tetap bisa memelihara pandangan terhadap dimensi-dimensi kedalaman manusia dan masyarakat, yang biasa diperdangkal oleh mata pandang parsial: ekonomi, politik, dan terutama kekuasaan praktis.”
    Emha Ainun Nadjib, dikutip dari Kitab Ketenteraman



    Keunggulan Buku

    - Salah satu karya klasik Budayawan Emha Ainun Nadjib
    - Mengangkat isu yang selalu menggelitik bangsa Indonesia, yaitu tentang rakyat, kekuasaan, dan kesejahteraan
    - Menyajikan novel refleksi yang mengajak kita memikirkan kembali bagaimana seharusnya menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
    -

    Resensi

    Pengantar Penerbit
    Apa jadinya bila semar mendadak lenyap? tak ada kabar, tak ada sebab. Hilang begitu saja. Emha Ainun Nadjib sengaja menjadikan tokoh yang sering dipakai sebagai citra sosok yang punya kekuatan melebihi dewa tapi sekaligus bersahaja laiknya jelata ini sebagai kunci untuk masuk ke dalam proses permenungan. Peristiwa hilangnya Semar mengajak kita untuk merunut kembali hakikat rakyat, demokrasi, kekuasaan, politik, dan kesejahteraan.
    “Arus Bawah” pernah terbit bersambung di harian Berita Buana pada 28 Januari sampai 31 Maret 1991 dan menjadi buku pada 1994. Novel-esai ini menarik untuk dibaca lagi meskipun situasi Indonesia mungkin sudah banyak berubah dibandingkan saat novel ini ditulis. Saat itu Indonesia berada pada masa Orde Baru yang punya kehati-hatian luar biasa pada setiap suara dari rakyat. Orang tidak bisa sembarangan beropini atau berpolitik tanpa waswas akan diciduk aparat. Media massa dibungkam. Aparat juga punya kekuasaan hampir tanpa kontrol sehingga bisa sewenang-wenang, utamanya kepada rakyat bawah.
    Gerakan arus bawah telah menguat dan menciptakan sebuah gelombang besar bernama Reformasi pada 1998. Bangsa ini sekarang dalam situasi demokrasi yang lebih aspiratif, lebih terbuka dibandingkan zaman Orde Baru. Dengan munculnya internet dan media sosial, kata pemberangusan juga seperti sudah arkaik. Rakyat pun sudah bisa memilih langsung pemimpin negara ini. Namun, apakah bangsa ini benar-benar sudah demokratis? Benarkah rakyat sudah lebih bisa menyalurkan aspirasinya? Apakah penguasa sudah lebih adil kepada rakyat?
    Sebagai sebuah proses, bangsa Indonesia belum selesai. Itu sebabnya kita perlu menengok lagi pertanyaan-pertanyaan yang lebih sering bernada gugatan dari para Punakawan dalam novel ini. Apakah kita benar-benar membutuhkan Semar sehingga perlu dicari? Atau, kita sedang berpura-pura membutuhkan Semar? Jangan-jangan Semar tak ke mana-mana ….

    Bentang Pustaka
     

    NUKILAN

    Kiai Semar Menghilang, Yatim Piatu Kehidupan
    Kiai semar lenyap dari Karang Kedempel.
    Kiai Semar lenyap, tetapi jangan-jangan tak seorang pun dari penduduk Karang Kedempel yang merasa perlu mencarinya.
    Orang yang kehilangan, setidaknya akan ingat bahwa ia kehilangan. Tetapi, kalau terlalu lama ia kehilangan sesuatu, akhirnya yang hilang tidak hanya sesuatu itu, tetapi juga rasa kehilangan itu sendiri.
    Kiai Semar lenyap, alam berduka, tetapi orang tidak.
    Langit menutupi mukanya dengan berlapis-lapis mendung, dan dari sela jari-jarinya meleleh gerimis, jatuh setetes demi setetes. Angin kaku. Pohon-pohon, dedaunan, menundukkan wajahnya dalam-dalam.
    Akan tetapi, orang tidak. Penduduk Karang Kedempel bahkan tak bisa melihat air mukanya sendiri, yang sebenarnya memancarkan kesepian karena kehilangan itu. Mereka tetap bekerja seperti biasa, berkeringat, tertawa, tidur, dan mungkin tak merasa perlu untuk bangun seandainya pun ada gunung meletus atau seluruh kehidupan Karang Kedempel bubar mendadak.
    Padahal, Gareng gugup tak alang kepalang!
    Soalnya dahulu Semar-lah yang mengajaknya ke Karang Kedempel. Sebagai Prabu Mercu, raja jin taklukan Dewa Ismoyo yang juga bernama Kiai Semar, ia diajak turun dari jagat Jonggring Saloka ke alam bumi Karang Kedempel untuk menjadi anggota Punakawan. Lha, kok, sekarang Kiai Semar minggat begitu saja.
    Terbangun mendadak dari tidurnya, Gareng melompat berlari ke rumah Petruk. Terengah-engah ia langsung menjatuhkan diri terduduk di lincak di depan rumah adiknya itu.
    “Semar hilang! Semar hilang!” Suaranya terengah-engah. “Truk, Bapak hilang! Bapak hilang!”
    Petruk tersenyum-senyum saja sambil meneruskan membelah kayu-kayu bakar dengan pecok-nya.
    “Semar hilang! Semar hilang! Semar hilang!” Gareng mengulang lagi dengan nada lebih tinggi.
    Akan tetapi, Petruk memang selalu lebih dingin melayani setiap persoalan. Tentu saja: kantongnya memang bolong adanya.
    “Kenapa si tua bangka itu main kucing-kucingan?” sungut Gareng. Kemudian, ia meneruskan, “Dusun kita ini sedang amat membutuhkan kehadirannya. Dusun kita yang semakin rusak ini ...!!!”
    Tiba-tiba kalimat Gareng berbelok ke kata-kata makian sebab Petruk meletakkan pecok-nya dan berlalu ke belakang rumah. “Semar hilang! Semar hilang! Semar hilang! Kamu tidak punya telinga! Kamu tidak punya perasaan! Kamu tidak punya keprihatinan!”
    Akan tetapi, ketika sejenak kemudian ternyata Petruk muncul kembali dengan membawa sejumlah ubi godok, Gareng mengembalikan kata-katanya ke jalan semula. “Bapak itu orang yang sok jual mahal. Sudah tua bangka pakai ngambek segala. Hari depan dusun kita amat kangen pada keperigelan tangannya. Sekarang kita semua menjadi anak hilang. Seluruh penduduk dusun ini menjadi yatim piatu sejarah. Apakah ia merasa jengkel kepada Pak Lurah sehingga tak bersedia lagi menjadi Punakawan?”
    Gareng mengambil ubi, menggigit, dan mengunyahnya sambil meneruskan ceramah, “Apakah ia menganggap Pak Lurah sudah sedemikian tak pantas untuk ditemani karena ia sedemikian tak tahu diri? Salahnya orang memanggil Bapak dengan Ki Lurah Semar. Pak Lurah yang asli jadi cemburu sehingga sebutan lurah diganti menjadi kades.”
    Petruk mengambil ubi sekaligus tiga biji. Karena, ia tahu kakaknya akan semakin meluncurkan beratus-ratus kalimat yang tinggi-tinggi untuk menutupi perhatian Petruk terhadap jumlah ubi yang dimakannya.
    Dan, Gareng, sambil meneruskan pidato tunggalnya, mengambil seluruh gumpalan ubi yang tersisa. “Apakah Semar memuntahkan kembali bumi dari perutnya? Apakah ia telah menyorong balik sang waktu bagi dirinya sendiri, kembali menyelusup ke rahim Dewi Wirandi, ibundanya, serta pupus di cahaya mata Sang Hyang Mahatunggal, ayahandanya, yang memang telah amat lama dirindukannya?”
    Petruk bertepuk tangan panjang sambil bersorak riuh sendirian, “Hidup Gareng! Hidup Gareng!”
    Kakaknya memang dikenal sebagai filsuf desa yang cukup mumpuni. Ia tidak hanya piawai dalam berpikir dan merenungi persoalan-persoalan hidup, tetapi juga boleh ditandingkan dalam hal mengemukakan hasil perenungannya. Jangankan masalah-masalah kemasyarakatan, bunyi katak pun direnungkan oleh Gareng. Gareng sanggup menemukan hubungan antara lugut atau rawe dengan korupsi pembukuan desa, antara cara beradu dahi para kambing jantan dengan kepalsuan hati kebudayaan manusia, atau antara berkurangnya jumlah burung bangau dengan sisi Kitab Suci Purba atau garis edar galaksi-galaksi alam semesta!
    Apalagi, peristiwa hilangnya Semar!
    Petruk khawatir rasa kehilangan pada diri Gareng akan mendorong pemikirannya terlalu maju sehingga gila. Pasti kakaknya yang berhidung raksasa—sehingga memiliki daya penciuman puluhan kali lipat dari manusia normal—itu akan sibuk tiap saat mencari tempat dan manusia untuk mendengarkan ungkapan dan renungan-renungannya. Petruk merasa waswas bahwa pada hari-hari mendatang ini ia akan sedemikian disibukkan oleh kakaknya yang butuh pendengar. Karena kemudian yang menjadi penting adalah ungkapan-ungkapan Gareng itu sendiri, bukan lagi arti hilangnya Kiai Semar.




    KUTIPAN

    "Tapi, cinta dan penghormatan harus bisa dibedakan dengan perbudakan, kekuasaan, atau ketaatan buta. Manusia, apa pun posisinya, harus belajar bergaul dalam kesejajaran harkat, dalam keadilan dan keseimbangan nilai di antara mereka." (Hal. 22)

    Setiap kekuasaan itu cenderung menumpas dirinya sendiri. Rakyat itu sendiri tak bergantung kepada kekuasaan. Hanya kekuasaan yang sangat bergantung kepada rakyat. Seperti kesementaraan bergantung kepada keabadian. (Hal. 111)

     


    ENDORSEMENT

    Zaman terus berjalan, melangkah, dan berubah. Novel-esai berjudul “Arus Bawah” ini dulu, 20 tahun silam, telah terbit menjumpai pembaca. Menggedor kesadaran orang-orang, yang hidup tapi tak selalu berdaya dalam kepungan kekuasaan Orde Baru. Menyusupkan dan menyebarkan virus budaya carangan, di atas berlangsungnya mainstream kekuasaan dan politik kala itu, yang baku, pakem, dan hendak dilanggengkan.
    Helmi Mustofa, dikutip dari www.caknun.com

     

     

    Beri ulasan produk ini

    Spesifikasi Produk

    SKU BT-582
    ISBN 978-602-291-538-6
    Berat 210 Gram
    Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
    Halaman 248
    Jenis Cover Soft Cover

    Produk Emha Ainun Nadjib

















    Produk Rekomendasi