Ketersediaan : Tersedia

SABDO CINTA ANGON KASIH

    Deskripsi Singkat

    Mbok Jamu berselendang ungu itu menjadi sumber kebahagiaan bagi orang-orang yang datang dan pergi membeli dagangannya. Bukan karena rambut hitam kehijauannya, lereng keningnya yang bening, atau kecantikannya yang tiada tara. Para pria menjadi platinum member jamunya karena Mbok Jamu pintar memosisikan diri sebagai konco wingking. Perempuan yang posisinya selangkah di… Baca Selengkapnya...

    Rp 79.000 Rp 55.300
    -
    +

    Mbok Jamu berselendang ungu itu menjadi sumber kebahagiaan bagi orang-orang yang datang dan pergi membeli dagangannya. Bukan karena rambut hitam kehijauannya, lereng keningnya yang bening, atau kecantikannya yang tiada tara. Para pria menjadi platinum member jamunya karena Mbok Jamu pintar memosisikan diri sebagai konco wingking. Perempuan yang posisinya selangkah di belakang pria?

    Tunggu dulu, arti dari istilah itu baru tepat jika kita memandang hidup secara linear. Padahal, hidup ini berputar bagai Cokro Manggilingan. Ia di belakang, tapi sejatinya juga berada di depan karena takdir siklus.  Itulah keistimewaan Mbok Jamu.

    Orang-orang di sekitarnya memang tak pernah peka membaca pertanda. Berbeda dengan Sabdo Palon dan Budak Angon, dua makhluk spiritual dari Majapahit dan Pajajaran yang selalu mengikuti Mbok Jamu dalam senyap. Mereka yakin, Mbok Jamu bukanlah perempuan biasa. Dirinya pastilah putri raja yang menitis ke raga rakyat biasa. Meski terlihat tak berkuasa, ia mampu menjadi penentu kemenangan dalam kompetisi pilpres tahun kapan pun.

    Sekarang ... mari saksikan bersama, ke mata angin manakah Jangka Jayabaya dan Uga Wangsit Siliwangi, kedua ramalan akbar Jawa dan Sunda yang untuk kali pertamanya dihimpun dalam sebuah kitab, menemui takdirnya dalam cinta Mbok Jamu?

    Tentang SUJIWO TEJO

    SUJIWO TEJO

    Agus Hadi Sudjiwo (lahir di Jember, Jawa Timur, 31 Agustus 1962) atau lebih dikenal dengan nama Sujiwo Tejoadalah seorang budayawan Indonesia. Ia pernah mengikuti kuliah di ITB, namun kemudian mundur untuk meneruskan karier di dunia seni yang lebih disenanginya. Sempat menjadi wartawan di harian Kompas selama 8 tahun lalu berubah arah menjadi seorang penulis, pelukis, pemusik dan dalang wayang. Selain itu ia juga sempat menjadi sutradara dan bermain dalam beberapa film seperti Janji Joni dan Detik Terakhir. Selain itu dia juga tampil dalam drama teatrikal KabaretJo yang berarti "Ketawa Bareng Tejo".

    Dalam aksinya sebagai dalang, dia suka melanggar berbagai pakem seperti Rahwana dibuatnya jadi baik, Pandawa dibikinnya tidak selalu benar dan sebagainya. Ia seringkali menghindari pola hitam putih dalam pagelarannya. Karya dan pentasnya mengajak kita untuk mengenang masa depan karena masa depan kita ada di belakang, ada pada akar budaya Indonesia yang dibanggakannya. Keinginannya mengangkat akar budaya Indonesia menghasilkan kepeduliannya yang tinggi agar kesenian Indonesia merujuk pada akar budaya tapi diolah dengan metabolisme kreatif sehingga tidak menjadi kuno. Dalam metabolism itu tetap dicerna seluruh hal yang datang dari luar. Dengan pendekatan ini, Indonesia akan dikenali juga sebagai negara yang memiliki seni dan budaya yang modern.

     

    BUKUGRAFI

    • Kelakar Madura buat Gus Dur (2001)
    • Dalang Edan (2002)
    • The Sax (2003)
    • Ngawur Karena Benar (2012)
    • Jiwo J#ancuk (2012)
    • Lupa Endonesa (2012)
    • Republik #Jancukers (2012)
    • Dalang Galau Ngetwit (2013)
    • Kang Mbok (2013)
    • Lupa Endonesa Deui (2013)
    • Rahvayana: Aku Lala Padamu (2014)
    • Rahvayana: Ada yang Tiada (2015)
    • Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati (2016)
    • Balada Gathak Gathuk (2016)
    • Lupa 3ndonesa (2016)
    • Tuhan Maha Asyik (2016)
    • Talijiwo (2018)
    • Dr Upadi (2018)
    • Sabdo Cinta Angon Kasih (2018)



    WAYANG

    • 2004 Mendalang keliling Yunani
    • 1999 Menggelar wayang acapella dengan lakon “Pembakaran Shinta” di Pekan Budaya VIII  Universitas Parahyangan Bandung dan Pusat Kebudayaan Perancis Jakarta
    • 1999 Membentuk Jaringan Dalang, bersama para dalang alternatif
    • 1994 Menyelesaikan 13 episode Ramayana di Televisi Pendidikan Indonesia.
    • 1994 Mendalang wayang kulit sejak anak-anak dan mulai mencipta sendiri lakon-lakon wayang kulit sebagai awal profesinya di dunia wayang dengan judul: Semar Mesem

     

    PANGGUNG TEATER

    • 2009 Dongeng Cinta Kontemporer II – Sujiwo Tejo “Kasmaran Tak Bertanda” (Sutradara, aktor, dalang), Gedung Kesenian Jakarta, (13 – 14 November)
    • 2009 Pagelaran Loedroek tamatan ITB ”MARCAPRES” (Sutradara dan Pemain), Gedung Kesenian Jakarta (28 Juni)
    • 2009 Dongeng Cinta Kontemporer I – Sujiwo Tejo “Sastrajendra Hayuningrat Panguwating Diyu” (Sutradara, aktor, dalang), Gedung Kesenian Jakarta (28 – 29 Mei)
    • 2008 Pementasan Pengakuan Rahwana (Sutradara, aktor, dalang), Gedung Kesenian Jakarta (6 Desember)
    • 2008 Pementasan ludruk dengan lakon “Déjà vu De Java” di Auditorium Sasana Budaya Ganesa, (30 November )
    • 2007 Pentas Semar Mesem, Gedung Kesenian Jakarta, 2007.
    • 2006 Freaking Crazy You (sutradara) Gedung Kesenian Jakarta, 2006.
    • 2005 Battle of Love (Sutradara), Gedung Kesenian Jakarta, 2005.
    • 2006 Pentas Kolosal Pangeran Pollux  (Sutradara), JHCC, 2006.
    • 2005 Pentas Kolosal Pangeran Katak (Sutradara), JHCC, 2005.
    • 1999 “Laki-laki”, Gedung Kesenian Jakarta dan Teater Utan Kayu, 1999; kolaborasi dengan koreografer Rusdy Rukmarata.
    • 1989 “Belok Kiri Jalan Terus”, Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung, 1989; untuk mas kawin pernikahannya


     




    Keunggulan Buku

    Buku ini menunjukkan bahwa Sujiwo Tejo amat berbakat sebagai pencatat peristiwa yang detil. Hampir semua peristiwa penting yang terjadi dalam setahun di Indonesia dan hangat diperbincangkan masyarakat, ia rekam di sini.

    Kisah Sabdo Cinta Angon Kasih merupakan perwujudan dari keinginan setiap manusia dalam mencari sosok pemimpin yang kelak mampu menaunginya. Sangat cocok dengan situasi saat ini.

    Gaya Sujiwo Tejo bercerita dalam buku ini ringan, penuh humor menggelitik, romatis, namun selalu membuat pembacanya berefleksi panjang atas hidup.
    Tidak hanya berisi kisah yang akan membuat penasaran sampai akhir, buku ini dipenuhi berbagai kutipan berharga yang menghangatkan hati.

    Buku pertama yang menggabungkan kisah dalam Jangka Jayabaya dan Uga Wangsit Siliwangi.

     

    KUTIPAN

    "Menghina Tuhan itu ndak harus membakar kitab suci-Nya.Kamu khawatir ndak bisa makan, khawatir ndak dapat jodoh.Kamu sudah menghina Tuhan.”

    “Sempurna itu legawa menerima segala ketidaksempurnaan."

    "Bagi Petruk, teman adalah orang yang kalau nggedebus, tak pernah ngomongin politik, apalagi sampai membabi buta mendukung si anu dan antipati terhadap si anu."

    "Mereka menyangka bahwa mencintai itu memiliki dan memiliki perempuan berarti melarangnya ini-itu."

    "Di dunia ini tidak ada tujuan sejati. Segala yang semula tujuan jebul cuma sesuatu yang hanya akan kita lewati.”

    "Seperti cinta, ndak ilok ditanya 'kenapa'. Because tidak ada alasannya. Kalau sudah ada alasannya, wah, itu sudah bukan cinta lagi. Itu kalkulasi."

    "Ia pun tampak baik walau sesungguhnya tak ada lelaki baik di dunia. Yang ada hanyalah lelaki yang sedang ditutupi aibnya."


     

    NUKILAN

    Mendadak pecah suara dari langit. Seluruh kerumunan manusia mendongak. Mereka seperti dapat menerawang titisan Dewa Smaranata. “Itu Sabdo Palon!” seru para bocah.

    Orang tua yang tadi berpetuah pun turut memastikan bahwa penampakan di langit itu memang abdi setia Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. “Itulah, Nak, sosok yang berpisah dari sang raja di Gunung Lawu karena perbedaan keyakinan tentang masa depan Nusantara. Perbedaannya apa, nanti-nanti Kakek dongengi,” katanya pada para bocah.

    Para pemuda dan pemudi menerawang tokoh itu sebagai sosok yang agak gemuk dan tinggi. Ia berhidung mancung seperti paruh burung betet. Kulitnya putih, rambutnya agak ikal diikat ke atas, khas rambut lelaki masa Majapahit. Tampaknya ia juga sedang mengunyah permen karet.

    Kepada para milenial, pak tua tadi memberi pencerahan. “Sebenarnya kalian itu melihat arwah. Makamnya ada di Troloyo, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan. Dialah lelaki yang termaktub dalam Jangka Sabdo Palon. Lengkapnya Serat Jangka Jayabaya Sabdo Palon gubahan R. Ng. Ronggowarsito.”

    ***
    Ingat pesawat tanpa awak yang jatuh tak jauh dari perairan Batam? Sesungguhnya seorang lelaki muncul tak jauh dari situ. Dia kampul-kampul di atas sampan anyaman janur kuning. Perawakannya agak kurus. Ada toh di mata kirinya. Orang Sunda, tetapi suka gudeg dan nasi Padang. Dialah Budak Angon. Dahulu sekali, penggemar sarung ini pernah amat sedih karena berpisah dari junjungannya, Prabu Siliwangi.

    Dialah saksi dari Kerajaan Pajajaran saat detik-detik terakhir sang raja menyilakan rakyatnya memilih. Dalam khayalan panakawan Petruk, Budak Angon juga menjadi saksi bahwa raja besar Tanah Priangan itu memberi pilihan kepada rakyatnya sekaligus meramal nasib mereka kelak.

    Ramalan Uga Wangsit Siliwangi intinya menyebut bahwa dari suatu titik di Jawa Barat dengan halimun memesona, orang-orang Sunda yang berlari ke barat, timur, dan utara akan memiliki peruntungannya sendiri sebagaimana mereka yang bergerak ke selatan dan bersetia mengikuti Prabu Siliwangi.

    ***

    Pada bakul jamu gendongan dengan selendang ungu dan gelung rambutnya yang hitam berkilau dan kehijauan itu, Budak Angon jelas-jelas menangkap pertanda kehidupan Dewi Candrawati. Si bakul jamu yang suka pada gorengan sukun dan nasi gandul khas Kota Pati juga mempertebal keyakinan Budak Angon. “Putri bungsu Prabu Siliwangi, Nyai Putri Purnamasari, kurang suka sukun goreng, apalagi nasi gandul.” Budak Angon melanjutkan komat-kamitnya.
    Yang paling membuat Budak Angon hakulyakin si bakul jamu titisan Dewi Candrawati adalah perlakuannya pada setiap lelaki. Ini sama dengan perlakuannya pada saudagar Tionghoa yang bernama mirip orang kepercayaan Laksamana Cheng Ho, Ong King Hong. Dia seperti akan manut saja ketika Ong King Hong berniat membentuknya menjadi Roro Mendut, sang primadona Mataram. Di tengah matahari redup depan kantor pos tua, Budak Angon bersaksi dari jauh bagaimana bakul jamu selalu lebih sering mendengarkan lelaki berkumis kucing itu. Bakul jamu senantiasa memosisikan diri sebagai konco wingking atau teman selangkah di belakang pria.

    Kalau bukan titisan Dewi Candrawati, tidak mungkin ada perempuan bisa selangkah di belakang seperti bakul jamu itu. Ini milenium perempuan! Ini zaman ketika perempuan berada di garda depan. Berkuasa! batin Budak Angon.

    ***

    Rembukan Togog-Bilung berlanjut di trotoar ketika seorang bocah berani memalangkan sepedanya untuk mengusir para pemotor lewat trotoar. “Sabdo Palon dan Budak Angon ini harus mengupas tuntas makna konco wingking. Betulkah yang disebut konco wingking hanya mengurus tiga ‘ur’: dapur, sumur, kasur?” ujar Togog sambil mengagumi Daffa, bocah masa depan itu. “Kowe ngomong opo to, Gog. Ngomong mbok yang jelas, Gog. Kepalaku mulai kobong, nih,” sahut Bilung. Togog memperjelas. Maksudnya, konco wingking berarti perempuan berada di belakang lelaki. Itu kalau kita membayangkan hidup ini linear.

    “Kenyataannya hidup ini ndak lempeng. Hidup ini berputar. Cokro Manggilingan. Dari bayi manusia kembali ke bayi lagi: disuapin, dibantu berjalan, pikun pah poh ngah ngoh, dan sebagainya. Nah, dalam hidup yang berputar, konco wingking itu sejatinya malah bisa berada di depan. Yang berada di depan tak cuma Nyai Ratu Lingga Gamparan di Banten Selatan. Di Prawiromantren, Mataram, itu Roro Mendut tampak melayani lelaki, tetapi sejatinya dia dilayani. Dia di belakang, tetapi sejatinya juga di depan karena hidup ini siklus,” tandas Togog di dalam dongeng Petruk.


    ***

    Resensi

    Beri ulasan produk ini

    Spesifikasi Produk

    SKU BS-529
    ISBN 978-602-291-514-0
    Berat 240 Gram
    Dimensi (P/L/T) 13 Cm / 21 Cm/ 0 Cm
    Halaman 260
    Jenis Cover Soft Cover

    Produk SUJIWO TEJO

















    Produk Rekomendasi